Sabtu, 21 Juli 2012

bijih besi


1    Teori Bijih Besi
Bijih besi adalah batuan yang mengandung mineral besi dan sejumlah mineral pengotor seperti silika, alumina, magnesia dan nikel. Besi yang terkandung dalam batuan tersebut dapat diekstraksi dengan teknologi yang sudah ada pada saat ini dan mempunyai nilai ekonomis. Umumnya bijih besi lebih mudah berikatan dengan unsur oksigen sehingga di alam besi lebih banyak berbentuk oksida seperti hematite (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan limonit (2Fe2O3.nH2O). [Hulbrut. S., 1971].
Bijih besi merupakan bahan baku utama dalam pembuatan besi dan baja. Indonesia memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup besar yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal dikarenakan berbagai kendala, diantaranya adalah rendahnya kandungan besinya.
      Bijih besi ini terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Sumatera dengan kandungan hampir 2 miliar ton. Potensi kandungan bijih besi dapat dilihat pada tabel Tabel 1.
Tabel 1 Potensi sumber daya besi di Indonesia
Jenis Cebakan
Bijih (ton)
Logam (ton)
Bijih besi
320 462 611
182 908 676
 besi
1 391 246 630
589 359 013
Pasir besi
42 169 416
21 307 662
            Statistik Direktori Geologi dan Sumberdaya Mineral, 2005
Mineral utama penyusun bijih besi tentu saja memiliki sifat yang beragam dan perilaku yang berbeda ketika diolah menjadi pellet dan bahkan ketika mengalami proses reduksi. Jika faktor ini memberikan efek positif maka pellet yang dihasilkan cenderung memiliki kualitas yang baik. Sebaliknya, bila faktor
tersebut memberikan efek negatif maka pellet yang dihasilkan cenderung memiliki kualitas yang kurang baik. Contohnya, dengan proses pembuatan yang sama, dari bijih besi magnetite dapat dihasilkan pellet yang memiliki kekuatan lebih baik dari pada pellet yang dihasilkan dari mineral goethite.  Hal ini disebabkan pellet bijih besi yang berasal dari mineral goethite cenderung lebih keropos karena tingkat porositas yang tinggi setelah mengalami pemanasan pada temperatur tinggi [Meyer. K., 1980].
Faktor ini terdiri dari pengaturan ukuran partikel penyusun pellet bijih besi, kandungan air, penambahan binder dan additive serta pemanasan.Pellet bijih besi  yang baik memiliki sifat sebagai berikut[Meyer. K., 1980].
  1. Kandungan Fe tinggi (> 63%).
  2. Ukuran seragam dan memiliki rentang ukuran kecil (80–90% pellet harus memiliki diameter 9 – 15 mm). Diameter pellet minimal 5 mm dan maksimal 50 mm.
  3. Porositas tinggi (25 – 30%).
  4. Dapat direduksi dengan baik (metalisasi = 92–94%).
  5. Kekuatan pada temperatur kamar baik dan tahan  terhadap degradasi selama penyimpanan dan pemindahan (kuat tekan = 980 N/pellet).

Kandungan Fe dalam pellet bijih besi adalah sifat yang penting untuk efisiensi proses. Pada prakteknya pellet bijih besidengan kadar Fe tinggi dapat diperoleh dengan mudah dari bijih besi dengan kadar Fe yang tinggi. Untuk bijih besi dengan kadar Fe yang rendah maka perlu dilakukan benefisiasi untuk meningkatkan kadar Fe dalam konsentrat sebelum diolah menjadi pellet.
Ukuran pellet bijih besi yang seragam berperan penting bagi permeabilitas gas reduksi. Selain itu pellet bijih besi perlu memiliki porositas yang cukup untuk memungkinkan gas reduksi kontak dengan bagian dalam pellet. Kedua sifat ini, berperan dalam meningkatkan keberhasilan proses reduksi pellet bijih besi.

Sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan besi baja, besi yang terkandung dalam bijih besi harus dipisahkan dari oksigen dan pengotor yang mengikatnya. Proses penghilangan oksigen dan pengotor bijih besi disebut proses reduksi bijih besi. Proses reduksi bijih besi secara umum terbagi atas dua metode yaitu reduksi langsung (direct reduction) dan reduksi tidak langsung (indirect reduction). Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam blast furnace dengan reduktor berupa kokas batubara atau char dengan temperatur di atas titik lebur besi dengan produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak menjadi pig iron.
Proses reduksi langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan reduktor berupa padatan seperti batubara atau gas alam (CH4). Proses reduksi langsung dilakukan di bawah titik lebur sehingga produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan (besi spons). [Sun. S., 1997].


2       Batubara
            Batu bara adalah campuran kompleks zat-zat yang berasal dari fosil tumbuh-tumbuhan, yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika, di dalam bumi selama bertahun-tahun. Selulosa dari tumbuhan tersebut mengalami penguraian oleh bakteri di bawah kondisi anaerobic (tidak ada udara), berair, perubahan tekanan dan temperatur yang tinggi akibat aksi-aksi geologis. Selama proses penguraian, hidrogen dan oksigen secara bertahap akan lepas. Sehingga makin tua batu bara, kandungan hidrogen dan oksigen semakin kecil. Hal ini memberikan dampak positif bahwa kandungan karbon dan nilai kalorinya semakin meningkat. [Wakelin., 1999].
            Jenis batu bara diperkenalkan pertama kali oleh White pada tahun 1909, yang kemudian diadopsi oleh Thiessen tahun 1931 dan teman-teman sekerjanya. Pembagian jenis-jenis batu bara tersebut sebagai berikut: [Suyadi, 1995]
A.    Anthracite.
      Batu bara jenis anthracite, merupakan peringkat tertinggi dengan nilai kalori di atas 7500 kkal/kg. Dengan kereaktipan yang rendah, tetapi kadar zat terbang rendah  yaitu lebih kecil dari 5%. Anthracite merupakan bagian dari cadangan batu bara Indonesia.
B.     Bituminous.
Batu bara jenis bituminous terdiri dari tiga golongan, yaitu jenis dengan kadar zat terbang rendah, sedang dan tinggi. Mempunyai sifat mengkokas yang baik, dan bila dikarbonisasi menjadi plastis, membentuk kokas dan menggumpalkan partikel-partikel inert yang lain. Kemudian setelah menjadi kokas mengeras kembali (mengkokas). Batu bara jenis ini biasanya dicampurkan pada briket dengan bahan pengikat kanji, air gelas atau semen. Potensinya merupakan 15% dari cadangan yang ada di Indonesia dengan karakteristik berkadar air sampai dengan 15% dan nilai kalori 6000-7500 kkal/kg.
C.    Sub Bituminous.
Batu bara jenis sub bituminous sifatnya tidak mengembang dan kadang-kadang bersifat slaking, mudah hancur terpengaruh cuaca. Kadar zat terbang sub bituminous besar, sehingga untuk meningkatkan mutunya, batu bara jenis ini sebelum dibriket melalui tahapan karbonisasi terlebih dahulu untuk menghasilkan semi kokas, karena semi kokas merupakan bahan bakar ideal yang mempunyai daya pemanasan dan radiasi yang baik dan cocok digunakan untuk pembakaran skala kecil (boiler) untuk industri, pandai besi, untuk keperluan rumah tangga, industri bata, keramik. Potensi sub bituminous sebesar 26% dari cadangan yang ada dengan karakteristik kadar air 15-30% dan nilai kalori 5000-6000 kkal/kg.
D.    Lignite.
Batu bara jenis lignite mempunyai kadar air total yang tinggi sekitar 30-40% dan nilai kalorinya rendah yaitu sekitar 4000-5000 kkal/kg. Batu bara jenis ini mudah hancur, berdebu, dan sangat reaktif. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut di atas, batu bara jenis ini ditingkatkan mutunya melalui tahapan proses karbonisasi. Pemanfaatan batu bara ini sangat luas, mulai dari rumah tangga, barbeque, pengecoran, blast furnace dan bahan bakar industri.
Batu bara peat dan lignite jarang digunakan dalam industri metalurgi. Umumnya digunakan untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik dan industri gas. Anthracite jarang didapat dan harganya mahal. Umumnya digunakan sebagai carburizing dan deoxydizing agent. Bituminous coal adalah jenis yang paling penting, karena merupakan bahan baku utama pembuatan kokas metalurgi (Metallurgical Coke).
Adapun syarat batubara sebagai reduktor berdasarkan proximate analysis adalah sebagai berikut [Patnaik. N. K., 2000]:
1.      Kadar fixed carbon berkisar antara 30-50%.
2.      Mempunyai kadar volatile matter 26-32%.
3.      Kadar abu kurang dari 20%.
4.      Moisture berkisar antara 3-20%.
Sifat yang mempengaruhi pembakaran batubara
1.      Kadar abu: dapat mempengaruhi ukuran furnace, kadar abu yang tinggi akan memperbesar ukuran furnace
2.      Zat terbang: menentukan reaktifitas dan kenyalaan batubara. Hal ini dapat menentukan lama penyalaan pada waktu pembakaran di dalam furnace, karena batubara dengan zat terbang tinggi akan lebih mudah terbakar
3.      Nilai kalor: mempengaruhi jumlah langsung terhadap jumlah produksi uap dan meentukan jumlah batubara yang akan digunakan.
Kekerasan atau kemudahan untuk digerus: ditentukan oleh hard grove, grindability, yang berpengaruh terhadap penentuan atau pemilihan alat penggiling.

Di dalam proses DR (Direct Reduction) dengan menggunakan Rotary Kiln lebih baik jika menggunakan batu bara dengan high ash fusion temperature dan mengandung sulfur kurang atau lebih kecil dari 1%. Sub-bituminus mengandung 0,4% sulfur dan ash fusion temperatur yang cukup baik sehingga memungkinkan digunakan dalam Rotary Kiln. Selain ash fusion dan kandungan sulfur, volatile matter juga berpengaruh dalam proses DR menggunakan Rotary Kiln. Batubara dengan high volatile matter dapat mereduksi pada temperatur rendah sekitar 950oC dan tingkat kereaktifannya tinggi sekitar 1,8-2,2 cm3CO/g.C.sec. [Panigrahi. R., 2000].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar