1 Teori Bijih Besi
Bijih besi adalah batuan yang mengandung
mineral besi dan sejumlah mineral pengotor seperti silika, alumina, magnesia
dan nikel. Besi yang terkandung dalam batuan tersebut dapat diekstraksi dengan
teknologi yang sudah ada pada saat ini dan mempunyai nilai ekonomis. Umumnya
bijih besi lebih mudah berikatan dengan unsur oksigen sehingga di alam besi
lebih banyak berbentuk oksida seperti hematite
(Fe2O3), magnetit
(Fe3O4) dan limonit (2Fe2O3.nH2O).
[Hulbrut. S., 1971].
Bijih besi merupakan bahan baku utama dalam pembuatan
besi dan baja. Indonesia memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup
besar yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal dikarenakan berbagai
kendala, diantaranya adalah rendahnya kandungan besinya.
Bijih besi ini
terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Sumatera dengan
kandungan hampir 2 miliar ton. Potensi kandungan bijih besi dapat dilihat pada
tabel Tabel 1.
Tabel 1 Potensi sumber daya besi di Indonesia
Jenis Cebakan
|
Bijih (ton)
|
Logam (ton)
|
Bijih besi
|
320 462 611
|
182 908 676
|
besi
|
1 391 246 630
|
589 359 013
|
Pasir besi
|
42
169 416
|
21
307 662
|
Statistik
Direktori Geologi dan Sumberdaya Mineral, 2005
Mineral utama penyusun
bijih besi tentu saja memiliki sifat yang beragam dan perilaku yang berbeda
ketika diolah menjadi pellet dan
bahkan ketika mengalami proses reduksi. Jika faktor ini memberikan efek positif
maka pellet yang dihasilkan cenderung
memiliki kualitas yang baik. Sebaliknya, bila faktor
tersebut memberikan efek negatif maka pellet yang dihasilkan cenderung
memiliki kualitas yang kurang baik. Contohnya, dengan proses pembuatan yang
sama, dari bijih besi magnetite dapat
dihasilkan pellet yang memiliki
kekuatan lebih baik dari pada pellet
yang dihasilkan dari mineral goethite. Hal ini disebabkan pellet bijih besi yang berasal dari mineral goethite cenderung lebih keropos karena tingkat porositas yang
tinggi setelah mengalami pemanasan pada temperatur tinggi [Meyer. K., 1980].
Faktor ini terdiri dari pengaturan ukuran partikel
penyusun pellet bijih besi, kandungan
air, penambahan binder dan additive serta pemanasan.Pellet bijih besi yang baik memiliki sifat sebagai berikut[Meyer. K., 1980].
- Kandungan Fe tinggi (> 63%).
- Ukuran seragam dan memiliki rentang ukuran kecil (80–90% pellet harus memiliki diameter 9 – 15 mm). Diameter pellet minimal 5 mm dan maksimal 50 mm.
- Porositas tinggi (25 – 30%).
- Dapat direduksi dengan baik (metalisasi = 92–94%).
- Kekuatan pada temperatur kamar baik dan tahan terhadap degradasi selama penyimpanan dan pemindahan (kuat tekan = 980 N/pellet).
Kandungan Fe dalam pellet bijih
besi adalah sifat yang penting untuk efisiensi proses. Pada prakteknya pellet bijih besidengan kadar Fe tinggi
dapat diperoleh dengan mudah dari bijih besi dengan kadar Fe yang tinggi. Untuk
bijih besi dengan kadar Fe yang rendah maka perlu dilakukan benefisiasi untuk
meningkatkan kadar Fe dalam konsentrat sebelum diolah menjadi pellet.
Ukuran pellet bijih besi yang seragam berperan
penting bagi permeabilitas gas reduksi. Selain itu pellet bijih besi perlu memiliki porositas yang cukup untuk
memungkinkan gas reduksi kontak dengan bagian dalam pellet. Kedua sifat ini, berperan dalam meningkatkan keberhasilan
proses reduksi pellet bijih besi.
Sebelum digunakan sebagai bahan baku
pembuatan besi baja, besi yang terkandung dalam bijih besi harus dipisahkan
dari oksigen dan pengotor yang mengikatnya. Proses penghilangan oksigen dan
pengotor bijih besi disebut proses reduksi bijih besi. Proses reduksi bijih
besi secara umum terbagi atas dua metode yaitu reduksi langsung (direct reduction) dan reduksi tidak
langsung (indirect reduction). Proses
reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam blast furnace dengan reduktor berupa kokas batubara atau char dengan temperatur di atas titik
lebur besi dengan produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke
dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan
sebagian kecil akan dicetak menjadi pig
iron.
Proses
reduksi langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan reduktor
berupa padatan seperti batubara atau gas alam (CH4). Proses reduksi
langsung dilakukan di bawah titik lebur sehingga produk yang dihasilkan dalam
bentuk padatan (besi spons). [Sun.
S., 1997].
2 Batubara
Batu bara adalah campuran kompleks zat-zat yang berasal
dari fosil tumbuh-tumbuhan, yang telah mengalami proses perubahan kimia dan
fisika, di dalam bumi selama bertahun-tahun. Selulosa dari tumbuhan tersebut
mengalami penguraian oleh bakteri di bawah kondisi anaerobic (tidak ada udara), berair, perubahan tekanan dan
temperatur yang tinggi akibat aksi-aksi geologis. Selama proses penguraian,
hidrogen dan oksigen secara bertahap akan lepas. Sehingga makin tua batu bara,
kandungan hidrogen dan oksigen semakin kecil. Hal ini memberikan dampak positif
bahwa kandungan karbon dan nilai kalorinya semakin meningkat. [Wakelin., 1999].
Jenis batu bara
diperkenalkan pertama kali oleh White pada tahun 1909, yang kemudian diadopsi
oleh Thiessen tahun 1931 dan teman-teman sekerjanya. Pembagian jenis-jenis batu
bara tersebut sebagai berikut: [Suyadi, 1995]
A. Anthracite.
Batu bara jenis anthracite,
merupakan peringkat tertinggi dengan nilai kalori di atas 7500 kkal/kg. Dengan
kereaktipan yang rendah, tetapi kadar zat terbang rendah yaitu lebih kecil dari 5%. Anthracite merupakan bagian dari
cadangan batu bara Indonesia.
B. Bituminous.
Batu bara jenis bituminous terdiri dari tiga golongan,
yaitu jenis dengan kadar zat terbang rendah, sedang dan tinggi. Mempunyai sifat
mengkokas yang baik, dan bila dikarbonisasi menjadi plastis, membentuk kokas
dan menggumpalkan partikel-partikel inert yang lain. Kemudian setelah menjadi
kokas mengeras kembali (mengkokas). Batu bara jenis ini biasanya dicampurkan
pada briket dengan bahan pengikat kanji, air gelas atau semen. Potensinya
merupakan 15% dari cadangan yang ada di Indonesia dengan karakteristik berkadar
air sampai dengan 15% dan nilai kalori 6000-7500 kkal/kg.
C. Sub Bituminous.
Batu bara jenis sub bituminous sifatnya tidak mengembang
dan kadang-kadang bersifat slaking,
mudah hancur terpengaruh cuaca. Kadar zat terbang sub bituminous besar, sehingga untuk meningkatkan mutunya, batu
bara jenis ini sebelum dibriket melalui tahapan karbonisasi terlebih dahulu
untuk menghasilkan semi kokas, karena semi kokas merupakan bahan bakar ideal
yang mempunyai daya pemanasan dan radiasi yang baik dan cocok digunakan untuk
pembakaran skala kecil (boiler) untuk
industri, pandai besi, untuk keperluan rumah tangga, industri bata, keramik.
Potensi sub bituminous sebesar 26%
dari cadangan yang ada dengan karakteristik kadar air 15-30% dan nilai kalori
5000-6000 kkal/kg.
D. Lignite.
Batu bara jenis lignite mempunyai kadar air total yang
tinggi sekitar 30-40% dan nilai kalorinya rendah yaitu sekitar 4000-5000
kkal/kg. Batu bara jenis ini mudah hancur, berdebu, dan sangat reaktif. Untuk
menghilangkan sifat-sifat tersebut di atas, batu bara jenis ini ditingkatkan
mutunya melalui tahapan proses karbonisasi. Pemanfaatan batu bara ini sangat
luas, mulai dari rumah tangga, barbeque,
pengecoran, blast furnace dan bahan
bakar industri.
Batu bara peat dan lignite jarang digunakan dalam industri metalurgi. Umumnya
digunakan untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik dan industri gas. Anthracite jarang didapat dan harganya
mahal. Umumnya digunakan sebagai carburizing
dan deoxydizing agent. Bituminous coal adalah jenis yang paling
penting, karena merupakan bahan baku utama pembuatan kokas metalurgi (Metallurgical Coke).
Adapun syarat batubara sebagai reduktor
berdasarkan proximate analysis adalah
sebagai berikut [Patnaik. N. K., 2000]:
1. Kadar fixed
carbon berkisar antara 30-50%.
2. Mempunyai kadar volatile matter 26-32%.
3. Kadar abu kurang dari 20%.
4. Moisture berkisar
antara 3-20%.
Sifat
yang mempengaruhi pembakaran batubara
1.
Kadar abu: dapat mempengaruhi ukuran furnace,
kadar abu yang tinggi akan memperbesar ukuran furnace
2.
Zat terbang: menentukan reaktifitas dan kenyalaan batubara. Hal ini dapat
menentukan lama penyalaan pada waktu pembakaran di dalam furnace, karena batubara dengan zat terbang tinggi akan lebih mudah
terbakar
3.
Nilai kalor: mempengaruhi jumlah langsung terhadap jumlah produksi uap dan
meentukan jumlah batubara yang akan digunakan.
Kekerasan
atau kemudahan untuk digerus: ditentukan oleh hard grove, grindability, yang berpengaruh terhadap penentuan atau
pemilihan alat penggiling.
Di
dalam proses DR (Direct Reduction)
dengan menggunakan Rotary Kiln lebih
baik jika menggunakan batu bara dengan high
ash fusion temperature dan mengandung sulfur kurang atau lebih kecil dari
1%. Sub-bituminus mengandung 0,4% sulfur dan ash fusion temperatur yang cukup baik sehingga memungkinkan
digunakan dalam Rotary Kiln. Selain ash fusion dan kandungan sulfur, volatile matter juga berpengaruh dalam
proses DR menggunakan Rotary Kiln.
Batubara dengan high volatile matter dapat
mereduksi pada temperatur rendah sekitar 950oC dan tingkat
kereaktifannya tinggi sekitar 1,8-2,2 cm3CO/g.C.sec. [Panigrahi. R.,
2000].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar